Cerita Nomor Dua

Aku begitu menyukai hujan. Aku menyukai hawa dingin yang mendekap, menusuk namun menenangkan. Aku suka bunyi rintik air hujan. Terdengar seperti sedang berlomba memainkan melodi yang indah. Aku suka sambil menyeruput segelas cokelat hangat. Sambil duduk menghadap jendela. Memandangi rembesan air hujan. Sampai aku ingat, dulu seseorang akan dengan senang hati menemaniku melihat hujan. Duduk di kursi sebelah kursiku. Menikmati segelas cokelat hangat disampingku. Menikmati bunyi hujan bersamaku. Menghadap jendela dan memandangi rembesan air hujan. Ya, seseorang dan aku dulu pernah bersama. Lalu seseorang itu akan mulai bercerita sambil tetap menghadap jendela. Sesekali menoleh, menatapku sejenak. Lalu bercerita kembali. Terkadang sambil mengusap rambutku pelan. Seseorang itu entah mengapa tetap betah menemaniku berjam-jam hanya untuk melihat hujan.

 Sampai suatu hari aku bertanya padanya, “Kau juga menyukai hujan?”. Dia menghentikan ceritanya, terdiam sejenak. “Tidak begitu”. “Lalu apa kau tidak bosan menghabiskan waktu duduk disini?”. Dia menghela nafas. Aku bisa mendengarnya. “Aku hanya ingin menemanimu. Itu saja.” Aku diam. “Hanya saja, jika suatu hari nanti kau merasa keberadaanku mulai mengganggumu, bisakah kau memberitahuku?” aku kembali diam. Mengalihkan pandangan ke arah jendela. Membiarkan cerita dan pertanyaannya larut dalam bunyi hujan.
Sampai suatu saat, tak ada lagi yang mengisi kursi di sebelahku. Tak ada lagi yang mengusap pelan rambutku. Tak ada lagi yang memberiku cerita-cerita tidak penting dan konyol itu. Aku merindukannya. 

Kini aku menunggu hujan lebih dari biasanya. Aku menunggu, berharap aku akan menemukan kembali seseorang itu datang di tengah hujan. Kemudian duduk di sampingku. Seperti dulu.


Komentar

Posting Komentar