Cerita Nomor Satu


Sore ini langit cantiiiiik sekali. Huruf i nya banyak, menegaskan kalau langitnya benar-benar indah. Seperti kamu yang sedang duduk di sebelahku, di kursi kemudi.

Semburat warna oranye hangat menyembul dibalik tenangnya biru sungguh memanjakan mata. Sehangat senyummu yang sedari tadi kulirik diam-diam. Ah, tanpa sadar pipiku memerah. Aku harap kamu tidak tahu.

Aku memainkan jari-jari tanganku. Mencoba ikut menyenandungkan lagu yang sedang diputar di radio. Agar mengurangi kecanggunganku hari ini.

Keseruput kopi hangat yang tadi sempat kamu belikan. Sambil sesekali mengecek handphoneku, padahal tidak ada pesan yang masuk. 

Kamu nampak berbeda dari terakhir kali kita bertatap muka. Kita bertemu saat libur semester tahun lalu. Saat kamu mengabari jika kamu sudah pulang dari kota seberang dan mengajak untuk bertemu.

Rambutmu lebih panjang dan sedikit urakan. Hampir gondrong, seperti kebanyakan anak Teknik Mesin. Tapi kamu wangi. Agak kurusan juga sepertinya. Apa karena kamu sedang mengurus skripsi ya, seperti yang kamu ceritakan di whatsapp belakangan ini. 

Lagi-lagi kamu dengan kaos hitammu. Kalau tidak hitam ya navy, lalu hitam lagi, lalu coklat kehitaman. Pokoknya bajumu tidak ada warna lain selain warna-warna gelap. Senada dengan kulit sawo matangmu yang sedari SMP menjadi bahan ejekan diantara teman-teman kita. Padahal kusadari setelah dewasa, ejekan perihal warna kulit, rambut keriting atau hal fisik lainya benar-benar tidak lucu. Malah kuperhatikan sekarang lebih matang lagi warnanya alias lebih gelap. Mungkin karena hobimu naik sepeda, seperti foto-foto yang sering kamu upload di Instagram storymu.

Aku memutar otak. Pertanyaan macam apa yang harus kulontarkan untuk memecahkan keheningan yang sudah terjadi kurang lebih 20 menit terakhir? Menanyakan kabar sepertinya terlalu klise. Buktinya kamu disini disebelahku baik-baik saja. Sebenarnya hal yang paling ingin kutanyakan adalah tentang pacarmu, yang entah kenapa kuperhatikan sudah 3 bulan belakangan jarang kulihat di update medsosmu. Foto-foto si pacarpun sudah hilang dari laman instagrammu. Dimana bisa kusimpulkan kalau kamu sudah putus. 

Tidak. Tidak mungkin hal pertama yang kutanyakan setelah setahun tidak bertemu adalah perihal status. Memalukan.
“Ngomong-ngomong, skripsimu ambil judul apa?”. Pertanyaan paling aman. Masalah perkuliahan. Dia lalu menceritakan bagaimana dia sedang bingung untuk memilih judul apa. Karena  jujur saja sedikitpun aku tidak mengerti obrolan masalah skripsi ini.  Sambil berusaha menimpali, aku melihat ke arahmu yang sedang mengemudi. Ah, andai saja aku lebih berani. Mungkin sekarang kita pergi makan bukan dengan status teman, tapi pacar. Tapi aku takut, kalau-kalau pengakuanku nantinya malah membuat kita tidak bisa berteman seperti ini lagi. Takut jika seandainya kamu tidak punya perasaan yang sama sepertiku. Lalu hubungan pertemanan sejak smp dan sma ini akan menjadi canggung selanjutnya.

Lalu radio memutar lagu Ariana Grande-My everything. Aku menghela napas panjang. Seperti mereka sedang menyanyi untukku. kutatap langit yang mulai gelap sambil bergumam dalam hati. Sepertinya hari ini aku harus jujur tentang perasaan yang sudah bertahun-tahun kusimpan rapat-rapat. Aku memejamkan mata sembari meyakinkan diri. Mobil melaju pelan, kusadari kita sudah sampai di tempat makan tujuan. Aku ragu-ragu lagi, kunyatakan atau kukubur saja dalam-dalam.

Komentar